Jaksa Agung Republik Indonesia, HM Prasetyo bersikeras bahwa hukuman mati tetap harus dipertahankan dalam sistem peradilan Indonesia sebagai terapi kejut bagi pelaku kejahatan serius.
“Saya yakin bahwa pelaksanaan hukuman mati adalah semacam terapi. Memang tidak mengenakkan, namun tetap harus dilaksanakan,” ujar HM Prasetyo dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR yang membawahi urusan hukum dan HAM pada Rabu (20/1) kemarin malam.
Pernyataan ini disampaikan oleh Jaksa Agung sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh anggota Komisi III DPR dari Partai Demokrat, Ruhut Sitompul yang mempertanyakan tujuan dibalik hukuman mati dalam peradilan Indonesia.
Jaksa Agung HM Prasetyo dalam sebuah sesi tanya jawab. Sumber: Jakarta Post |
November 2015, Jokowi menghentikan sementara eksekusi hukuman mati atas beberapa terpidana di tengah kerasnya tekanan dari pihak internasional. Namun, pemerintah pada saat itu berkilah sedang ingin fokus untuk mengembalikan angka pertumbuhan yang melambat ke angka 4,73 persen.
Namun Prasetyo membantah pelaksanaan hukuman mati tidak ada hubungannya dengan ekonomi. Ia menambahkan bahwa penyebab sebenarnya adalah reaksi berlebihan dari pihak asing yang menyebabkan eksekusi mati menjadi mandek.
Australia dan beberapa kelompok aktivis HAM dari negara-negara Barat giat mengecam tindakan pemerintah Indonesia yang memberlakukan hukuman mati yang diamanatkan dalam KUHP.
Tahun lalu, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran, dua terpidana penyelundup narkoba asal Australia, telah dieksekusi pada bulan April dan sempat menyebabkan ketegangan hubungan diplomasi antara Indonesia dan negeri Kanguru.
0 komentar:
Post a Comment